Asal Usul Rok Pertama Kali Diciptakan untuk Pria
Ketika mendengar kata rok, kebanyakan orang mungkin langsung membayangkan pakaian khas wanita yang anggun dan feminin. Namun, jauh sebelum peradaban modern menempatkan rok sebagai simbol kewanitaan, kenyataannya pakaian ini justru diciptakan untuk pria. Pada masa-masa awal sejarah manusia, konsep pakaian tidaklah sespesifik sekarang. Tidak ada batasan antara mana pakaian pria atau wanita, dan rok merupakan salah satu bentuk busana tertua yang pernah dikenal umat manusia.
Dalam catatan sejarah kuno, pakaian sejenis rok sudah digunakan sejak ribuan tahun lalu, jauh sebelum lahirnya mode modern. Di Mesir Kuno, misalnya, para pria mengenakan semacam kain yang dililitkan di pinggang menyerupai rok pendek, yang disebut shendyt. Pakaian ini bukan hanya simbol status, tetapi juga praktis mengingat suhu gurun yang sangat panas. Sementara itu, di Mesopotamia, bangsa Sumeria dan Babilonia juga mengenakan rok dari bahan wol atau linen yang dipilin, sebagai bagian dari pakaian sehari-hari kaum pria bangsawan. Dengan kata lain, di zaman itu, rok bukanlah pakaian feminin — melainkan simbol kebangsawanan dan kejantanan.
Perjalanan Panjang dari Simbol Kejantanan ke Identitas Gender
Seiring berjalannya waktu, fungsi dan persepsi tentang rok mengalami perubahan besar. Dari Timur Tengah hingga Eropa, bentuk rok berkembang dengan berbagai variasi — panjang, pendek, berlapis, hingga dihiasi ornamen rumit. Di Yunani kuno, misalnya, para pria memakai chiton dan himation, sejenis jubah panjang yang mirip rok. Begitu pula di Roma, para prajurit menggunakan tunica — pakaian berbentuk sederhana tanpa potongan kaki yang memudahkan mereka bergerak.
Namun, titik balik besar dalam persepsi tentang rok muncul pada masa Abad Pertengahan. Ketika revolusi mode mulai berkembang di Eropa, pakaian pria dan wanita mulai dipisahkan secara tegas. Pria lebih sering mengenakan celana panjang, sedangkan rok dan gaun menjadi simbol pakaian wanita. Padahal, sebelum masa itu, hampir semua pakaian panjang yang menyerupai rok digunakan oleh pria dari berbagai peradaban, baik dalam upacara keagamaan, peperangan, maupun kehidupan sehari-hari.
Yang menarik, peralihan ini tidak terjadi dalam semalam. Ada proses panjang yang melibatkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam konteks ini, rok menjadi “korban” dari pembentukan norma gender yang baru, di mana pakaian pria harus mencerminkan kekuatan dan kepraktisan, sementara pakaian wanita diasosiasikan dengan kelembutan dan keindahan.
Rok Pertama Kali Diciptakan untuk Pria di Berbagai Peradaban Dunia
Jika kita melihat lebih luas, hampir setiap kebudayaan besar memiliki versi “rok pria” mereka sendiri. Di Skotlandia, misalnya, terdapat kilt — pakaian tradisional yang masih digunakan hingga hari ini. Kilt bukan hanya sekadar pakaian adat, tetapi juga simbol kebanggaan nasional yang menunjukkan asal-usul dan garis keturunan seseorang melalui pola tartan yang khas.
Di Asia Tenggara, terutama di Indonesia dan negara-negara sekitarnya, kita mengenal sarung. Pria dari berbagai daerah — dari Madura hingga Makassar — menggunakan sarung dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk beribadah maupun bersantai. Bentuknya jelas menyerupai rok, dan hingga kini masih diterima secara luas tanpa dikaitkan dengan isu gender.
Lalu di Timur Tengah, masih ada thobe atau dishdasha, pakaian panjang yang dikenakan para pria dari Arab hingga Afrika Utara. Pakaian ini ringan, nyaman, dan sangat cocok untuk iklim panas gurun. Di Myanmar, pria menggunakan longyi; di Fiji, ada sulu; dan di Samoa, ada lava-lava. Semua bentuk pakaian ini menunjukkan bahwa gagasan tentang rok sebagai pakaian pria sudah sangat universal dalam sejarah manusia.
Perubahan Persepsi Mode di Era Modern
Memasuki abad ke-19 dan 20, dunia fesyen mulai memperkuat batas antara pakaian pria dan wanita. Rok sepenuhnya diadopsi ke ranah pakaian perempuan, sementara pria lebih memilih celana sebagai simbol modernitas dan efisiensi. Namun, perubahan zaman membawa gelombang baru. Ketika kebebasan berekspresi mulai diterima luas, beberapa desainer mencoba menantang norma lama.
Pada era 1960-an dan 1970-an, muncul pergerakan mode uniseks yang berusaha menghapus batasan gender dalam berpakaian. Tokoh-tokoh seperti David Bowie atau Mick Jagger tampil mengenakan rok di atas panggung sebagai simbol kebebasan artistik. Perancang busana seperti Jean Paul Gaultier dan Vivienne Westwood bahkan menciptakan koleksi khusus rok pria dalam fashion show mereka. Sejak saat itu, rok mulai dipandang bukan hanya sebagai pakaian wanita, tetapi juga sebagai pernyataan seni dan individualitas.
Kini, banyak desainer modern seperti Thom Browne, Marc Jacobs, hingga Louis Vuitton menampilkan rok dalam koleksi pria mereka. Bahkan selebritas pria seperti Harry Styles, Billy Porter, dan Jared Leto tampil percaya diri mengenakan rok di acara publik, menandakan bahwa pakaian ini telah kembali kepada akar sejarahnya — simbol kebebasan dan ekspresi diri.
Makna Filosofis di Balik Rok yang Diciptakan untuk Pria
Jika kita melihat lebih dalam, perjalanan panjang rok bukan sekadar kisah mode. Ia adalah cerminan dari bagaimana masyarakat membentuk, membatasi, lalu menantang kembali definisi gender dan ekspresi diri. Fakta bahwa rok awalnya diciptakan untuk pria menunjukkan bahwa apa yang kita anggap “normal” dalam berpakaian sebenarnya hanyalah konstruksi sosial yang berubah seiring waktu.
Di masa lalu, rok melambangkan status, kejantanan, dan kekuasaan. Di masa kini, ia menjadi simbol kebebasan — kebebasan untuk memilih, mengekspresikan diri, dan menolak aturan kaku tentang bagaimana seharusnya seseorang berpakaian. Dengan begitu, perjalanan rok adalah perjalanan manusia itu sendiri: dari kebutuhan fungsional menuju ekspresi makna yang lebih dalam.
Rok dalam Perspektif Budaya dan Modernitas
Meski kini rok lebih identik dengan wanita, banyak budaya yang tetap mempertahankan bentuk aslinya sebagai pakaian pria. Contohnya, di Skotlandia, mengenakan kilt masih dianggap sebagai kebanggaan nasional. Di Indonesia, sarung tetap digunakan pria tanpa dipermasalahkan. Ini membuktikan bahwa pakaian tidak bisa dipisahkan dari konteks budaya tempat ia hidup.
Di sisi lain, dunia mode modern perlahan membuka ruang bagi eksperimen lintas gender. Beberapa tahun terakhir, peragaan busana besar dunia mulai menampilkan koleksi yang tidak lagi dibatasi oleh gender. Banyak desainer berpendapat bahwa pakaian hanyalah kain — makna gender yang disematkan padanya berasal dari cara kita memandangnya.
Perubahan ini mengingatkan kita kembali pada akar sejarah rok, bahwa dulunya pakaian ini bukanlah simbol feminin, melainkan pakaian universal yang digunakan oleh semua orang.
Mengembalikan Arti Asli dari Rok
Mungkin sudah saatnya kita memandang kembali rok dengan cara yang lebih terbuka. Ketika dunia semakin sadar akan pentingnya kebebasan berekspresi, sudah tidak relevan lagi untuk membatasi pakaian berdasarkan jenis kelamin. Rok, dengan sejarah panjangnya yang mendahului celana, adalah bukti nyata bahwa pakaian selalu berevolusi mengikuti manusia, bukan sebaliknya.
Perjalanan rok dari pakaian pria kuno menjadi simbol feminin modern, lalu kembali diterima oleh sebagian pria masa kini, menunjukkan bahwa sejarah selalu berputar. Dan mungkin, dalam beberapa dekade mendatang, kita akan melihat rok tidak lagi dikategorikan sebagai pakaian “wanita” atau “pria”, melainkan sekadar bagian dari identitas individu yang ingin menampilkan dirinya dengan jujur.
Rok sebagai Simbol Evolusi Sosial
Dari Mesir kuno hingga panggung mode modern, rok telah melalui perjalanan yang luar biasa panjang. Ia lahir dari kebutuhan praktis, berkembang menjadi simbol status, lalu berubah menjadi identitas gender yang kini kembali ditantang oleh generasi baru. Ketika kita berbicara tentang rok pertama kali diciptakan untuk pria, kita sebenarnya sedang menelusuri sejarah manusia yang kompleks, tentang kekuasaan, budaya, dan kebebasan.
Tidak peduli siapa yang mengenakannya, rok selalu memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar kain yang menjuntai di pinggang. Ia adalah simbol evolusi manusia, dari zaman ketika pakaian hanyalah alat pelindung, hingga kini menjadi cermin keberanian untuk menjadi diri sendiri. Dan di tengah dunia yang terus berubah, mungkin inilah saatnya kita kembali menghargai makna aslinya: bahwa setiap pakaian, termasuk rok, tidak mengenal batas selain batas yang kita buat sendiri.

